Wednesday 25 April 2012

Kantorpos Yogyakarta di antara Keraton-Malioboro

Berbeda dengan Jakarta dan Semarang, Kota Yogyakarta tidak dilintasi Post Groote Weg (Jalan Pos Raya). Namun secara geopolitis kota ini memiliki arti penting pada masa lalu karena merupakan ibukota Kesultanan Yogyakarta sebagai salah satu kerajaan yang diakui keberadaannya oleh pemerintah Belanda.
Kota kuno Yogyakarta yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I telah berkembang menjadi kota yang cukup mau dan pernah menjadi ibukota Republik Indonesia pada awal kemerdekaan.

Sultan Hamengku Buwono I membangun kota Yogyakarta berlandaskan konsep tubuh manusia dengan Keraton sebagai otak, Pasar Beringharjo sebagai paru-paru, kawasan Malioboro sebagai perut, Tugu sebagai yoni atau lingga, sedangkan kaki adalah Jalan Cornel Simanjuntak dan Jalan Magelang.

Di Kota Yogyakarta terdapat sumbu imajiner dari keraton hingga ke alun-alun diteruskan ke Malioboro, Tugu, dan Gunung Merapi.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda memperlihatkan dominasinya dengan membuat akses Timur-Barat dengan membangun jalan memotong sumbu Keraton-Tugu di sebalah Gedung Agung dan Benteng Vredeburg.

Selain itu, pemerintah kolonial membangun gedung-gedung yang merupakan representasi dari pemerintah kolonial di sekitar perempatan Museum Sonobudoyo yaitu Gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) dan Kantorpos dan Telegraf.

Pusat Kota Yogyakarta sendiri sebagaimana diungkapkan pada pembahasan mengenai "tipologi" kawasan kota tradisional ditandai dengan adanya keberadaan alun-alun, mesjid besar, dan kediaman penguasa pribumi yaitu Keraton Yogyakarta.

Sejak tahun 1765, kegiatan di pusatKota Yogyakarta berkembang pesat yang dapat dilihat dari perkembangan fasilitas fisik seperti pasar, perumahan, dan fasilitas lainnya.

Pemerintah Hindia Belanda membangun fasilitas penunjang unsur kota dengan simbol-simbol kolonial seperti Benteng Vredeburg pada tahun 1760-1789 (berada tepat di depan Kantorpos Yogyakarta pada perempatan Jalan Malioboro dengan Jalan P. Senopati).

Bangunan penting lainnya adalah Gedung Agung yang dahulu disebut Loji Kebon. Di sebelah Selatan terdapat gedung pertemuan yang disebut Societeit der Vereeniging yang merupakanklub orang-orang Belanda. Namun, pada saat Perang Kemerdekaan gedung ini hancur dijatuhi bom dan hanya menyisakan sebagian gedung yang direnovasi menjadi gedung Senisono.

Bangunan Kantorpos yang berlantai 2 dibangun kurang lebih pada tahun 1920-an. Secara pasti tidak diketahui, namun demikian kemungkinan tidak berbeda jauh dengan pembangunan Gedung Javasche Bank yang dipergunakan oleh kantor dagang perusahaan lain seperti Escompto Bank dan Nederlandsch Indische Liif en Levenswrkezekering Maatscappij.

Banugnan Kantorpos Yogyakarta terdiri dari dua tingkat dengan gaya arsitektur Indies, atap perisai sangat kontras dengan gaya arsitektur Bank Indonesia yang lebih bercorak klasik.

Lubang jendela yang lebar dengan lengkungan mengingatkan lengkungan-lengkungan pada pos pemberhentian Jalan Pos Raya.


Bagian asli adalah bagian depan, sedangkan bagian belakang merupakan bangunan tambahan. Kondisi bangunan Kantorpos masih sangat baik dan terpelihara.

Kantorpos Yogyakarta berada di lingkungan pusat kota dan tepat pada sumbu Jalan Pangeran Mangkubumi-Malioboro sehingga cukup menonjol secara fisik.

Secara kosmologis keberadaan Kantorpos menyatu dengan Alun-alun Utara, Benteng Vredeburg, kawasan Malioboro dan urban blok sekitar pusat kota.

Pada masa lalu kawasan ini merupakan daerah pusat kota, pemerintahan, perkantoran, dan perekonomian Kota Yogyakarta, jauh sebelum kawasan-kawasan lainnya berkembang. 

Sekarang kawasan ini merupakan daerah pusat kota yang sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, budaya dan belanja.

Para wisatawan sangat tertarik menikmati "suasana perbelanjaan tradisonal" sepanjang Malioboro yang khas dengan kerumunan pedagang-pedagang yang berjualan cinderamata, baju, mainan dan berbagai barang antik yang tidak didapatkan di tempat wisata lain. Belum lagi di sepanjang jalan ini banyak toko-toko yang menjual kain dan baju-baju batik.

Kondisi sosial kawasan Kantorpos Yogyakarta didominasi kegiatan perdagangan, perkantoran, dan perbelanjaan.

Hingga kini keberadaan Kantorpos Yogyakarta sangat didukung potensi sosial dan lingkungan budaya masyarakat sekitarnya. Seperti adanya Keraton Yogyakarta sebagai tujuan wisata budaya yang memiliki daya tarik khas bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Dari pengamatan di lapangan banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kantorpos Yogyakarta untuk mengirimkan suirat, menggunakan jasa internet, membeli benda filateli ataupun mengirimkan barang melalui jasa paket pos.
Aktivitas wisatawan di sekitar alun-alun dan keraton ataupuin di Malioboro sangat menunjang keramaian Kantorpos.

Dari arah Malioboro keadaan Kantorpos pada kawasan ini cukup menonjol karena dapat dilihat oleh pengamat yang berjalan dari arah Malioboro. Keberadaan Kantorpos berdekatan dengan pusat-pusat aktivitas yang menjadi konsentrasi jasa yang membutuhkan layanan pos.

Oleh karena itu, pengembangan Kantorpos Yogyakarta semestinya dapat memanfaatkan berbagai nilai strategis kawasan yang ada seperti keberdekatan dengan kawasan belanja Malioboro, wisata sejarah Benteng Vredeburg, wisata budaya Keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, perbelanjaan khas buku-buku di Shopping Centre dan Pasar Beringharjo.

.

4 comments: